Mengobati Tunanetra Mata Hati



Di sebuah sekolah dasar, seorang guru bertanya kepada murid-murid kelas VI, “Apakah kalian melihat diri saya?”

Para murid serentak menjawab, “Ya”

“Baik, itu berarti saya ada”, kata sang guru.

“Apakah kalian melihat papan tulis?” tanyanya lebih lanjut.

“Ya.”

“Baik, itu berarti papan tulis tersebut ada”

“Apakah kalian melihat meja itu?” Tanya sang guru sambil menunjuk salah satu meja di ruang kelas. 

“Ya”, jawab murid-murid.

“Berarti meja itu ada”

“Apakah kalian melihat Tuhan?”

“Tidak”, jawab murid-murid serentak

“Itu berarti Tuhan tidak ada” kata sang guru.

Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba seorang murid yang cerdas di kelas itu berdiri dan dengan suara lantang dia bertanya kepada murid-murid lainnya, “Apakah kalian melihat AKAL guru kita?” 

“Tidaaaak” jawab mereka semua serentak.

“Baik, kalau begitu, akal guru kita tidak ada, atau guru kita tidak punya akal”, tegas sang murid yang cerdas.

Anekdot di atas saya kutip dari kitab berjudul Allah Jalla Jalaaluh yang ditulis oleh Said Hawwa (rahimahullah). Sangat jelas, anekdot di atas memperlihatkan bagaimana tunanetra mata hati membuat sang guru gagal “melihat” eksistensi Allah yang kemudian mengantarkannya pada kegagalan dalam membuat konstruksi kesimpulan sehingga pada akhirnya berujung pada keyakinan yang benar-benar sangat vatal. Di lingkungan hidup kita sehari-hari, sesungguhnya ada saja guru-guru sesat (dan menyesatkan) seperti itu. Untungnya, Allah selalu menghadirkan murid-murid kehidupan yang cerdas di ruang-ruang kelas kehidupan kita.

Memang, jika keberadaan (atau eksistensi) Allah hanya didasarkan pada persepsi indera fisik semata, dan ini menjadi salah satu ciri khas paham materialisme, maka wujud Allah tidak akan pernah dipahami dengan baik dan benar. Inilah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan ungkapan:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al-Hajj: 46)
***
Hukum-Hukum Fisika dan Eksistensi Allah

Tahun 1905, Albert Einstein memperkenalkan sebuah formula yang memperlihatkan hubungan antara eksistensi energi dan cahaya dalam sebuah rumus :

E = mc2

Keterangan: E = Energi; m = massa; c = cahaya (kecepatan cahaya)

Bagi yang sudah pernah jalan-jalan ke Berlin, Jerman, bisa melihat rumus di atas terpajang di Lustgarten, di tengah kota Berlin, persisnya di halaman Museum Altes, dengan ukuran huruf yang sangat besar (4 meter).

Sudah lama saya membuat sebuah kesimpulan personal terhadap rumus di atas sebagai sebuah formula matematis yang secara tersirat mengandung makna simbolisme eksistensi Allah. Perhatikanlah bahwa jika massa m (zat) dalam rumus di atas menggunakan angka 1 (satu) sebagai simbol Tauhid atau ke-Esa-an Allah, maka eksistensi Energi E menjadi sama dengan Cahaya kuadrat c2 (cahaya di atas cahaya). Dan, saksikan bahwa makna simbolik tersebut tersimpan dengan baik dalam ayat berikut:

.........  اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

نُّورٌ عَلَى نُور

Allah Cahaya Langit dan Bumi .............
Cahaya di atas cahaya. (QS. An-Nuur: 25)

Makna di atas akan membuat hati kita lebih bergetar lagi tatkala ditautkan dengan hukum kekekalan energi yang dicetuskan oleh James Prescott Joule tahun 1847, atau 58 tahun sebelum Einstein memperkenalkan rumus di atas. Seperti kita ketahui, hukum kekekalan energi atau hukum pertama termodinamika menegaskan bahwa, “Energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan tetapi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain”

Tatkala hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, pikirkanlah bahwa ini menjadi bagian penting dari simbolisme wujud esensi-Nya sebagai Al-Khaliq (Pencipta, bukan ciptaan, alias tidak dapat diciptakan), sekaligus sebagai Zat yang Maha Kekal, sehingga mustahil bisa musnah, justru Dia yang Maha Berkuasa untuk memusnahkan segala makhluk.

Dan, ketika hukum pertama termodinamika itu menyatakan bahwa Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, paling tidak ini sudah lebih dari cukup untuk menegaskan keragaman Nama-Nya dalam rangkaian keindahan dan kedalaman makna Asmaul Husna yang berjumlah 99 itu, atau dalam jumlah yang hanya Dia (Allah) saja yang mengetahui secara pasti. Dia yang Maha Rahman, Dia yang Maha Rahim, Dia yang Maha Adil, Dia yang Maha Pengampun, Dia yang Maha Pemberi Rezeki, dan lain sebagainya.

Maka, masihkah ada yang sangsi terhadap eksistensi-Nya, hanya karena mata fisik terbatas ini tidak melihat-Nya? Masihkah menggantungkan pada mata fisik penuh keterbatasan ini, yang melihat pena lurus sebagai pena “bengkok” di dalam gelas berisi air? Masihkan mengandalkan mata fisik terbatas yang tidak kuasa melihat dalam kegelapan ini? Camkan sungguh-sungguh makna ayat berikut:

لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. 6: 103)

Obat Tunanetra Mata Hati

Adakah obat untuk menyembuhkan tunanetra mata hati? Ya, jelas ada. Tuhan tidak pernah menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya. Untuk mengobati tunanetra mata hati, tak ada jalan lain selain kembali pada Al-Quran:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-Isra: 82)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus: 57)

Akhirnya, saya ucapkan Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1437 Hijriah. Yuk, hijrahkan hati kita menuju cahaya. Wallahua’lam. (La Ode Ahmad)

0 Response to "Mengobati Tunanetra Mata Hati"

Post a Comment